NAMA : Restu Rachmawati
KELAS : 3PA161
NPM : 17513443
1.KEKUASAAN
A. Definisi Kekuasaan
Dalam setiap hubungan antarmanusia maupun antar
kelompok sosial selalu tersimpul pengertian-pengertian kekuasaan. Untuk
sementara pembahasan akan dibatasi dengan kekuasaan, yang diartikan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan
dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah
patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya.
Pelopor utama yang menggunakan istilah kekuasaan
adalah sosiolog bernama maxweber. Dia merumuskan kekuasaan itu sebagai
suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada
dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan.
Walter nord merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi aliran, energi dan dana yang tersedia untuk
mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan laiannya.
Russel mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu
produksi dari akibat yang di inginkan.
Bierstedt mengatakan bahwa kekuasaan itu kemampuan
untuk mempergunakan kekuatan.
Wrong membatasi kekuasaan hanya pada suatu
kontrol atas orang lain yangberhasil.
Dahl mengatakan jika orang A mempunyai kekuasaan
atas orag B, maka A bisa meminta B untuk melaksanakan sesuatu yang tidak bisa
dilakukan B terhadap A.
Rogers berusaha membuat jelas kekaburan istilah dengan
merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh, dengan demikian
kekuasaan adalah suatu sumber yang bisa atau tidak bisa untuk
dipergunakan.penggunaan kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan dalam
kemungkinan bahwa seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan
perilaku yang diinginkan.
Angus Stewart hendak menggali ciri-ciri dan peluang
konsep kekuasaan yang baru, sebagai alternatif dalam menganalisis kondisi
masyarakat (kelompok sosial) dalam ruang dan waktu modernitas akhir. Mula-mula
ia telah berhasil telah menujkan perbedaan penting antara konsep kekuasaan dan
dominasi (yang sudah mulai berkelindan minimal sejak akhir 1960-an melalui
kerja Talcott Pasons, dan melembaga mulai tahun 1970-an melalui kerja antara
lain Anthony Giddens dan Michelle Foucault). Kekuasaan dalam bentuk dominasi
merupakan wujud dari kekuasaan meliputi sesuatu atau seseorang. Selanjutnya ia
merumuskan poitik transformasi pada masa moderenitas akhir saat ini. Ia
menunjukan pada adanya konsep ruang publik (public sphere),
kewargaan (citizenship), dan gerakan sosial
sebagai perwujudan kekuasaan dalam bentuk pemberdayaan. Disini muncul
kekukasaan terhadap (power to) sesuatu
ata seseorang, yanhg bisa dimiliki lapisn bawah sekalipun.
Kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk dan bermacam-macam
sumber. Hak milik kebendaan dan kedudukan merupakan sumber kekuasaan. Birokrasi
juga merupakan salah satu sumber kekuasaan, di samping kemampuan khusus dalam
bidang ilmu-ilmu pengetahuan yang tertentu ataupun atas dasar
peraturan-peraturan hukum yang tertentu. Jadi, kekuasaan terdapat di mana-mana,
dalam hubungan sosial maupun di dalam organisasi-organisasi sosial. Akan
tetapi, pada umumnya kekuasaan yang tertinggi berada pada organisasi yang
dinamakan “negara”.
Secara formal negara mempunyai hak untuk melaksanakan
kekuasaan tertinggi. Kalau perlu, dengan paksaan. Juga negaralah yang
membagi-bagikan kekuasaan yang lebih rendah derajatnya. Itulah yang dinamakan
kedaulatan (sovereignity). Kedaulatan
biasanya dijalankan oleh segolongan masyarakat kecil masyarakat yang menamakan
diri the ruling class, pasti ada yang menjadi
pemimpinnya, meskipun menurut hukum dia tidak yang menjadi pemimpinnya,
meskipun menurut hukum dia bukan pemegang kekuasaan tertinggi. Misalnya pada
negara-negara yang terbentuk kerajaan, sering terlihat kenyataannya bahwa
seorang perdana menteri mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari raja dalam
menjalankan kedaulatan negara.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok
untuk mempe
ngaruhi
tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku
(Miriam Budiardjo, 2003). Studi tentang kekuasaan dan pengaruhnya sangat
penting untuk dipahami bagaimana organisasi melakukan aktivitasnya. Sangat
memungkinkan untuk melibatkan kekuasaaan (power) dalam setiap interaksi dan
hubungan sosial pada organisasi. Orang cenderung untuk mempengaruhi individu
lain dan organisasi dalam setiap tindakan atau perilakunya dengan melakukan
social influence dan tindakan (Greenberg & Baron, 2000).
Kekuasaan merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang
untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku orang lain sesuai dengan
yang diinginkannya. Kekuasaan tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber
yang dibedakan menjadi kekuasaan formal dan kekuasaan personal. Kekuasaan
biasanya identik dengan politik. Politik sendiri diartikan sebagai upaya untuk
ikut berperan serta dalam mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat.
Penyalahgunaan kekuasaan pada dunia politik yang kerap
dilakukan oleh pelaku politik menimbulkan pandangan bahwa tujuan utama berpartisipasi
politik hanyalah untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal, pada hakekatnya
penggunaan kekuasaan dalam politik bertujuan untuk mengatur kepentingan semua
orang yang ada dalam organisasi, bukan untuk kepentingan pribadi ataupun
kelompok. Untuk itu, adanya pembatasan kekuasaan sangat diperlukan agar tumbuh
kepercayaan anggota organisasi terhadap pemegang kekuasaan dan terciptanya
keadilan serta kenyamanan dalam kehidupan
Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan
yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya
sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang
lain yang terlibat dalam tindakan itu (Poloma, 1979: 52). Kesempatan (chance
atau probability) merupakan satu konsep yang sangat inti dalam definisi Weber.
Dalam definisi di muka, kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi,
kehormatan, partai politik atau dengan apa saja yang merupakan sumber kekuasaan
bagi seseorang. Kesempatan seorang pejabat untuk melaksanakan kemauannya tentu lebih
besar dibanding kesempatan seorang petani.
Kekuasaan tidak selamanya berjalan lancar, karena
dalam masyarakat pasti ada orang yang tidak setuju atau melakukan perlawanan,
baik secara terbuka atau terselubung, terhadap kekua-saan (Scott, 1990:
xii‑xiii). Bahkan menurut Amitai Etzioni, kekuasaan adalah
kemampuan untuk menga-tasi sebagian atau semua perlawan-an, untuk
mengadakan perubah-an‑perubahan pada pihak yang memberikan oposisi (Poloma,
1979).
Dari dua definisi di atas kita bisa melihat
adanya perbedaan pandangan antara Weber dengan Etzioni. Definisi Weber
nampaknya lebih netral, sedangkan Etzioni memperlihatkan hubungan yang agak
negatif dan kurang diinginkan, karena mereka yang dikuasai merasa kehilangan
kebebasan.
Menurut Etzioni, asset/milik/ modal yang ada
pada seseorang (misal uang, benda berharga, kekuatan fisik, dan pengetahuan)
dapat dipergunakan oleh pemiliknya untuk menunjang kekuasaan. Asset sering juga
disebut kekuasaan potensial atau sumber kekuasaan. Hal ini untuk membedakan
dengan kekuasaan aktif yaitu kekuasaan yang sudah dituang dalam bentuk
tindakan.
Asset bersifat kurang lebih stabil, sedangkan
kekuasaan bersifat dinamik atau prosesual. Gejala kekuasaan adalah menterjemahkan
asset‑asset ini ke dalam kekuasaan. Menterjemahkan asset‑ asset ini ke dalam
kekuasaan akan menghasilkan pelbagai sanksi, imbalan, dan alat‑alat
(instrumen) untuk menghukum mereka yang menghalangi dan memberikan fasilitas
kepada mereka yang mengikuti kemauannya. Sanksi, imbalan dan alat‑alat ini
dapat bersifat fisik, materiil atau simbolik
B. JELASKAN SUMBER-SUMBER KEKUASAAN MENURUT FRENCH DAN
RAVEN
John French dan Bertram Raven mengusulkan lima dasar
kekuasaan antar pribadi
(interpersonal),
yakni :
1. Kekuasaan
Legitimasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi seseorang
karena
kedudukannya.
2. Kekuasaan
Imbalan, seseorang memperoleh kekuasaan dari kemampuan untuk memberikan imbalan
karena kepatuhan mereka.
3. Kekuasaan
Paksaan, bentuk kekuasaan paksaan ini di
pakai
untuk memperoleh pemenuhan akan permintaan atau untuk mengoreksi perilaku tidak
produktif dalam organisasi.
4. Kekuasaan Ahli,
seseorang dengan keahlian khusus dinilai mempunyai kekuasaan ahli yang tinggi.
5. Kekuasaan
Referensi, kharisma adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan
kepribadian yang menarik.
A. DEFINISI LEADERSHIP
“Kepemimpinan merupakan
suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang
untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pembahasan tentang kepemimpinan menyangkut
tugas dan gaya kepemimpinan, cara mempengaruhi kelompok, yang mempengaruhi
kepemimpinan seseorang.”
Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan Hersey menambahkan bahwa leadership adalah usaha untuk mempengaruhi individual lain atau kelompok. Seorang pemimpin harus memadukan unsur kekuatan diri, wewenang yang dimiliki, ciri kepribadian dan kemampuan sosial untuk bisa mempengaruhi perilaku orang lain.
Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.
Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan Hersey menambahkan bahwa leadership adalah usaha untuk mempengaruhi individual lain atau kelompok. Seorang pemimpin harus memadukan unsur kekuatan diri, wewenang yang dimiliki, ciri kepribadian dan kemampuan sosial untuk bisa mempengaruhi perilaku orang lain.
Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.
B.
JELASKAN TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF, TERDIRI DARI :
1.
TEORI X DAN TEORI Y DARI DOUGLAS MC GREGOR
Teori ini didasarkan
pada asumsi bahwa manusia secara jelas dan tegas dapat dibedakan atas manusia
penganut teori X dan Y dimana teori X memandang manusia malas tidak suka
bekerja menghindarkan tanggung jawab suku dibimbing diperintah dan diawasi
serta mementingkan diri sendiri sehingga untuk memitivasi karyawan harus
dilaukan dengan cara pengawasan ketat, dipaksa, dan diarahkan supaya mereka mau
bekerja sungguh sungguh
Sedangkan teori Y
memandang bahwa manusia atau Karyawan itu Rajin, suka bekerja memikul tanggung
jawab berprestasi, kreatif dan inovatif menurut teori Y ini untuk memotivasi
karyawan hendaknya dilakukan dengan cara peningkatan partisipasi karyawan,kerja
sama, dan keterikatan pada keputusan.(Mc Gregor dalam Hasibuan 2001:1600)
Menurut McGregor organisasi tradicional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Theori Y.
Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Tidak menyukai bekerja
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi.
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi.
Menurut McGregor organisasi tradicional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Theori Y.
Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Tidak menyukai bekerja
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi.
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi.
Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. asumís teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia ádalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada
hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan lepada orang. Keduanya
bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di
antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangka.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
2.
THEORY SISTEM 4 DARI RENSIS LIKERT
Gaya kepemimpian yaitu
sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan. Ada dua
macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas
dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan. Dalam gaya yang ber orientasi
pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
• Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
• Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai dengan keinginannya.
• Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan
ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
• Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
• Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.
Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau
perusahaan.
• Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
• Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
• Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai dengan keinginannya.
• Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan
ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
• Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
• Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.
Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau
perusahaan.
Salah satu pendekatan
yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat system tersebut terdiri dari:
Sistem 1, otoritatif dan eksploitif: manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh manajer. Manajemen menggunakan rasa takut dan ancaman; komunikasi atas ke bawah dengan kebanyakan keputusan diambil di atas; atasan dan bawahan memiliki jarak yang jauh;
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat system tersebut terdiri dari:
Sistem 1, otoritatif dan eksploitif: manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh manajer. Manajemen menggunakan rasa takut dan ancaman; komunikasi atas ke bawah dengan kebanyakan keputusan diambil di atas; atasan dan bawahan memiliki jarak yang jauh;
Sistem 2, otoritatif
dan benevolent: manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi
bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah
tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam
batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Manajemen menggunakan
penghargaan;, informasi mengalir ke atas dibatasi untuk manajemen apa yang
ingin didengar dan keputusan kebijakan sementara datang dari atas beberapa
keputusan yang ditetapkan dapat dilimpahkan ke tingkat yang lebih rendah,
atasan mengharapkan kepatuhan bawahan
Sistem 3, konsultatif:
manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah
hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan
– keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih
digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman. Manajemen
menawarkan hadiah, kadang-kadang hukuman; keputusan besar datang dari atas
sementara ada beberapa yang lebih luas keterlibatan dalam pengambilan keputusan
dan komunikasi rincian ke bawah ke atas sementara komunikasi penting hati-hati.
Sistem 4, partisipatif:
adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana
organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan
kerja dibuat oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang membuat keputusan,
mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota
kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak hanya mempergunakan
penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan
perasaan yang dibutuhkan dan penting. Manajemen kelompok mendorong partisipasi
dan keterlibatan dalam menetapkan tujuan kinerja yang tinggi dengan beberapa
penghargaan ekonomi; komunikasi mengalir ke segala arah dan terbuka dan jujur
dengan pengambilan keputusan melalui proses kelompok dengan masing-masing
kelompok terkait dengan orang lain dengan orang-orang yang menjadi anggota
lebih dari satu kelompok yang disebut menghubungkan pin; dan bawahan dan atasan
dekat. Hasilnya adalah produktivitas yang tinggi dan lebih baik hubungan
industrial.
3.THEORY
OF LEADERSHIP PATTERN CHOICE DARI TANNENBAUM DAN SCMIAT
Bagaimana bisa seorang
manajer mengatakan gaya manajemen apa yang digunakan? Pada tahun 1957, Robert
Tannenbaum dan Warren Schmidt menulis salah satu artikel yang paling
revolusioner yang pernah muncul dalam The Harvard Business Review. Artikel ini,
berjudul “Bagaimana Memilih sebuah Pola Kepemimpinan, adalah signifikan dalam
bahwa itu menunjukkan gaya kepemimpinan adalah pilihan manajer. Di bagian atas
diagram di bawah ini anda akan melihat akrab “Hubungan Oriented” dan “Tugas
Berorientasi” kontinum, yang juga diberi label “Demokrasi” dan “otoriter.”
Diagram menunjukkan
dimensi lain: “Sumber Otoritas”. Pada akhir demokratis diagram, manajer
memungkinkan kebebasan karyawan. Pada akhir otoriter diagram kita melihat bahwa
manajer adalah satu-satunya sumber otoritas. Kita pergi dari otoritas buruh
untuk otoritas manajer.
berkaitan dengan masalah
gaya kepemimpinan dan dengan pertanyaan seperti manajer dapat demokratis
terhadap bawahan, namun mempertahankan otoritas yang diperlukan dan kontrol.
untuk tujuan analisis mereka telah menghasilkan sebuah kontinum perilaku
kepemimpinan mulai dari autoritarian styeles di satu ekstrem ke gaya demokratis
di sisi lain, yang mereka sebut bos s-berpusat dan berpusat pada bawahan tidak
seperti orang lain model kepemimpinan berusaha untuk menyediakan kerangka kerja
untuk analisis dan pilihan individu.
para penulis mengusulkan tiga faktor utama yang menjadi pilihan tergantung pola kepemimpinan:
1. kekuatan di manajer (egattitudes, kepercayaan, nilai-nilai)
2. kekuatan di bawahan (egtheir sikap, kepercayaan, nilai dan harapan dari pemimpin)
3. kekuatan dalam situasi (egpreasure dan kendala yang dihasilkan oleh tugas-tugas, iklim organisasi dan lain-lain faktor extrancous).
para penulis mengusulkan tiga faktor utama yang menjadi pilihan tergantung pola kepemimpinan:
1. kekuatan di manajer (egattitudes, kepercayaan, nilai-nilai)
2. kekuatan di bawahan (egtheir sikap, kepercayaan, nilai dan harapan dari pemimpin)
3. kekuatan dalam situasi (egpreasure dan kendala yang dihasilkan oleh tugas-tugas, iklim organisasi dan lain-lain faktor extrancous).
Tujuh “pola
kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt. Pola
kepemimpinan ditandai dengan angka-angka di bagian bawah diagram ini mirip
dengan gaya kepemimpinan, tetapi definisi dari masing-masing terkait dengan
proses pengambilan keputusan.
Demokrasi (hubungan
berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh
bawahan.
Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin.
Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.
Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin.
Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.
Kepemimpinan Pola 1:
“Pemimpin izin bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh
superior.”
Contoh: Pemimpin
memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk
bertemu.
Kepemimpinan Pola 2:
“Pemimpin mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat
keputusan.”
Contoh: Pemimpin
mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi
tim bisa memutuskan mana hari adalah yang terbaik.
Kepemimpinan Pola 3:
“Pemimpin menyajikan masalah, mendapat kelompok menunjukkan, maka pemimpin
membuat keputusan.”
Contoh: Pemimpin
meminta tim untuk menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin
memutuskan hari apa tim akan bertemu.
Kepemimpinan Pola 4:
“Pemimpin tentatif menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah
oleh kelompok.”
Contoh: Pemimpin
kelompok bertanya apakah hari Rabu akan menjadi hari yang baik untuk bertemu.
Tim menyarankan hari-hari lain yang mungkin lebih baik.
Kepemimpinan Pola 5:
“Pemimpin menyajikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.”
Contoh: Pemimpin tim
mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan
tim. Pemimpin kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.
Kepemimpinan Pola 6:
“Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan
yang benar.”
Contoh: Pemimpin
mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Rabu.
Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Rabu adalah hari-hari terbaik
untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 7:
“Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup.”
Contoh: Pemimpin
memutuskan bahwa tim akan bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak,
dan mengatakan bahwa berita itu kepada tim
sumber :
C.
MENJELASKAN TEORI KEPEMIMPINAN DARI KONSEP MODERN CHOICE APPROACH TO
PARTIAPATION YANG MEMUAT KONSEP DECISION TREE FOR LEADERSHIP DARI TOKOH VROOM
DAN YETTON
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
* AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
* AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral
* CI (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* GII (Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973)
· Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
· Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
1. Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2. Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan Yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara
lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
3. Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik
4. Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan
D. MENJELASKAN TEORI KEPEMIMPINAN DARI KONSEP CONTINGENCY THEORY OF LEADERSHIP DARI FIEDLER
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya :
* Meminta orang tertentu untuk bekerja dalam kelompok
* Memindahkan bawahan tertentu ke luar dari unit
* Sukarela mengarahkan, mengajarkan dan menegur bawahan yang bandel atau sulit diatur
Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
Misalnya :
* Jika mungkin, memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
* Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur
Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Misalnya :
* Tunjukkan pada bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda miliki
* Pastikan informasi pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
* Biarkan bawahan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
E. MENJELASKAN TEORI KEPEMIMPINAN DARI KONSEP PATH GOAL THEORY
Salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal. Teori path-goal adalah suatu model kontingensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Menurut teori path goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama yaitu memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu
bawahannya dalam memahami bagai mana cara kerja yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua yaitu meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan
perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b. Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
c. Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
* AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
* AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral
* CI (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* GII (Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973)
· Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
· Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
1. Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2. Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan Yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara
lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
3. Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik
4. Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan
D. MENJELASKAN TEORI KEPEMIMPINAN DARI KONSEP CONTINGENCY THEORY OF LEADERSHIP DARI FIEDLER
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya :
* Meminta orang tertentu untuk bekerja dalam kelompok
* Memindahkan bawahan tertentu ke luar dari unit
* Sukarela mengarahkan, mengajarkan dan menegur bawahan yang bandel atau sulit diatur
Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
Misalnya :
* Jika mungkin, memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
* Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur
Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Misalnya :
* Tunjukkan pada bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda miliki
* Pastikan informasi pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
* Biarkan bawahan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
E. MENJELASKAN TEORI KEPEMIMPINAN DARI KONSEP PATH GOAL THEORY
Salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal. Teori path-goal adalah suatu model kontingensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Menurut teori path goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama yaitu memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu
bawahannya dalam memahami bagai mana cara kerja yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua yaitu meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan
perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b. Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
c. Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2. Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a. Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b. Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a. Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b. Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
a. Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
b. Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
c. Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
a. Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
b. Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
c. Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar